Thursday, May 1, 2014

Antara niat dan susu murni

Dulu saya pengikut gerombolan semua tergantung niat. Dengan catatan niat baik ya.. Kalau niat yang ga baik alias niat yang pada dasarnya jelek ya ga diitung. Jelek ya udah, jelek aja ga usah dibawa-bawa.

Ada yang bilang kalau niat-nya baik, semoga hasilnya juga baik. Ada juga yang bilang, yang penting niat-nya. Duh, sebegitu rumitnya kah si niat ini? Katanya lagi, ga rumit ko..Kan yang penting niat.

Dan ternyata itu jadi rumit. Setidaknya buat saya. Engga maksud dibuat rumit sih. Bisa-bisa saya ditimpuk orang-orang pengikut take life easy. Tapi ternyata setelah setiap melakukan sesuatu yang katanya semua tergantung si niat tadi, saya jadi merasa ada yang tidak cukup. Merasa ada yang kurang. Ternyata niat saja tidak cukup.

Mungkin setahun yang lalu, saya merasa si niat ini jadi belum cukup. Di suatu hari baik, tahun yang lalu saya mendengar seseorang berbicara tentang niat. Dan setelah memikirkan berulang-ulang, mendengar berulang-ulang. Mungkin memang benar niat saja belum cukup. Terkenang lagi semua kejadian-kejadian yang tergantung niat tadi. Niat yang baik ya.

Menolong orang miskin, membayar zakat, membantu orang tua menyebrang, meminjamkan uang pada seorang yang membutuhkan, menyantuni anak yatim, bersedekah, membacakan buku bagi orang buta, menciptakan lapangan pekerjaan, mengajarkan sesuatu pada orang lain, menaati peraturan pemerintah, membayar pajak, menjadi orang tua asuh, tidak mencontek pada saat ujian, buang sampah pada tempatnya, sholat 5 waktu bahkan lebih, menanam pohon, dan semua hal yang terdengar baik tadi ternyata tidak cukup hanya dengan niat. Bukan semata karena niat baik.

Niat baik ini bagi saya ternyata harus diawali dengan niat karena Allah SWT. Niat awal yang ternyata kunci dari segala niat baik. Karena Allah tadi. Niat baik, ternyata jadi penting saat kita tanya baik di depan siapa? Saya selalu berusaha mengingat analog si niat baik tadi. Sama dengan analog susu murni. Sebutlah saya membeli segelas susu murni, 100% murni susu sapi. Tapi jika saya bilang pada penjual, beri setetes sirup strawberry atau setengah sendok teh gula. Apakah susu itu tetap jadi susu murni? Setetes loh, sirup-nya cuma setetes. Buat saya itu bukan susu murni lagi.

Mulai saat itu saya jadi takut. Takut kalau niat-nya jadi tidak murni lagi. Memang niatnya baik tapi tidak murni. Niat menolong kalau dilihat orang. Niat bersedekah kalau diumumkan. Niat sholat ke mesjid supaya terkenal. Niat memberi dengan harapan kembali. Atau niat bersedekah dengan harapan datang berlipat-lipat lagi. 

Bisa kah kita berbuat baik dengan niat tanpa pamrih? Bisa. Dengan niat yang murni tadi. Ternyata luruskan niat itu buakan semata-mata baik dan buruk. Tapi niat yang lurus. Kalau sudah berbuat baik jangan menginginkan balik. Kalau sudah berniat baik jangan diingat lagi dan berdoa semoga lupa. Kalau belum juga lupa, ingat saja penjual susu murni tadi.

No comments:

Post a Comment